Bukan semata tempat sepi yang bisa menginspirasi, kesibukan nan hectic kota Shibuya, Jepang pun memiliki nilai spiritualnya sendiri.

Itulah pesan Wening Angga dalam tema “crowd”, yang berarti kerumunan. Sepertinya, Wening masih ingin mengelaborasi lebih lanjut dalam tema busana yang dirancang sebelumnya. Kali ini ia mementaskannya di acara Sustainable Ethical Fashion Show pada Indonesia Sharia Economic Festival (ISEI 6th), November 2019

Kejadian di kota besar yang membikin awanama (anonim), bagi Wening akan mempribadi (personalized) lagi saat sang diri tak terlebur dalam hectic yang menenggelamkannya oleh kerumunan (crowd).

Bak filsuf, Wening berujar, “Mereka semua bertemu di tengah kekacauan, menabrak, sisi melangkah dan berbelok di sekitar satu sama lain ketika mereka mencoba untuk menyeberang. Kemudian, selama beberapa menit, itu berhenti.”

Saat berhenti sesaat di zebra cross itulah, teraan busana bisa membedakan antara satu dengan lainnya. Karismatisasi personal ini oleh Wening ditampakkan dengan ragam pilihan busananya.

Deretan oasis spiritual seperti kuil, gereja, dan masjid sebagai simbol kekokohan direpresentasi   dengan penggunaan bahan bridal datcheus sebagai bahan utama. Ciri khas kemuslimahan diwakilkan pada busana berlapis (layering), yang takkan tembus pandang.

Sedang keindahan, ia aplikasikan pada sulam (embroidery), plisket (pleats) atau bentukan garis-garis, manik-manik (beasds), dan aksentuasi bunga sakura.

Sakura yang identik dengan keindahan musim semi itu mewujud lagi pada pilihan warna gradasi warna-warni pastel (abu-abu, ungu dan pink muda).

Wening kemudian melokalkan selera mondialnya ini dengan beberapa bahan pendukung, seperti: tenun baduy, batik cap Cirebon. Agar tak berat, Wening memadunya dengan bahan organza, bridal datcheus, dan sifon.

Dus, busana two and three pieces ini mewujud dalam busana atasan dan bawahan. Pola itu dalam kombinasi blus atau celana panjang dan dalam atasan model blazer maupun tunik. Kesemarakan iru masih ditambah dengan beberapa pola cutting asimetris dan teraan kain-kain tradisional dalam warna kontras dengan bahan dasar.

Akhirnya, Wening’s line kali ini memang tampil feminin dramatis, demi merayakan kesemarakan masyarakat urban Shibuya; namun dalam kekhususan yang personalized, berkat modest wear yang dikenakannya.

Teks: Wakhid; Foto: Ade Oyot

 

 

 

Artikulli paraprakSheenaz by Anggie Rachmat
Artikulli tjetërCatatan atas Sustainable and Ethical Fashion Show, JCC