Hari kedua perhelatan fashion di Gedung The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan, diramaikan oleh beberapa desainer.

Meskipun pekan mode yang diselenggarakan di gedung milik Polri pada Kamis, 26-29 Februari 2020 ini belum menjadi agenda tahunan, ada potensi perhelatan selama 4 hari tersebut untuk diagendakan secara rutin, mengingat ruang yang representatif, tempat yang cukup strategis, serta animo branded merk dan potential buyers yang terlibat di dalamnya.

Selain fashion show, lorong-lorong di sayap auditorium utama diramaikan dengan stan-stan penjualan, utamanya busana dari aneka butik, juga alat kebersihan-kecantikan, maupun produk kuliner dan perbankan.

Pada hari kedua, 10 desainer mengadakan konpers dan berlanjut untuk memeragakan kreasi busananya di  panggung dan runaway yang dirancang bagai savanna.

Nina Nugroho mengetengahkan Women in Power, yang memadukan aneka kain ke dalam busana kerja dan profesional, sebagaimana konsentrasi lini produk Nina. Ia ingin memperlihatkan bahwa keindahan busana muslimah yang membesut tubuh para perempuan profesional adalah bagian dari kekuatannya, yang berfungsi sebagai ibu, istri, maupun pekerja.

Desainer asal Solo, Tuty Adib, mempersembahkan Luxme (baca Laksmi). Dari pola baca di sebalik tema ini, Laksmi tampak bagaikan nama favorit, yang memilih busana long and short outer dalam pola batik bermotif flora, yang dilukis eyang Dwi Idah dari batik Dwi Hadi.

Elok re Napio, desainer Jawa Timur yang keluaran dominannya berupa kebaya, kali ini menawarkan busana kebaya berbahan lace, tile, batik, dan aksesori kelat (hiasan lengan dari emas para bangsawan Jawa kuno) Majapahit. Elok ingin membangkitkan “Gayatri Rajapatni”, perempuan bangsawan utama Majapahit, hulu dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi maupun cucunya yang menjadi raja besar Hayam Wuruk.

Lia Afif menghadirkan “Pearle Naturale”. Lia mengeksplorasi keindahan songket dari Pulau Lombok, NTB, dengan menggandeng Bhayangkari Lombok.

Lia Soraya mengusung tema “Quallamontan Percha”. Kata yang berasal dari Sanskrit yang berarti Kalimantan-Sumatra ini hendak dituangkannya dalam motif pucuk rebung. Motif yang diartikan sama, yakni agar manusia berlaku baik dan berguna bagi sesama. Lia memadukan serat alam dengan bahan modern dengan busana muslimahnya.

Gita Orlin, desainer asal Surabaya, menyodorkan “Shizen Bi”, atau kecantikan alam (dalam bahasa Jepang). Ia menampilkan busana muslim dan gaun pengantin lewat warna-warni hitam, peach dan gold dengan paduan kain sifon sutra, organda, sutra serta aneka pernik komplementer.

Beberapa penampil kreasi busana lainnya adalah Novita Sari dengan tema cahaya, sehingga busananya dominan putih; Riris Ghofir dengan tema “Autumn Foliage”,musim gugur yang ceria, dan Sugeng Waskita yang menjelajahi motif batik abstrak seperti biasanya.

Para desainer ini coba menyesuaikan dengan tema Harmoni Bumi. Dalam bentuk panggung dan runaway serupa savana, mereka mengetengahkan bahan, pewarna, maupun optimalisasinya demi kelangsungan lingkungan hidup yang lebih baik.

Teks: Wakhid Nur E; Foto: Ade Oyot

Artikulli paraprakNUSAIBAH
Artikulli tjetërKelembutan yang Bertenaga